Salah satu kebiasaan yang menarik perhatian saya adalah: jika
sering memikirkan kematian. Menariknya, saya pernah memikirkan hal ini, tentunya,
bukan karena saya ingin mati, tapi karena pikiran itu muncul tiba-tiba saja, saat
sendirian, atau bahkan ketika sedang sibuk bekerja.
Di buku The Psychology of Habit karya David J. Lieberman, dijelaskan
apa yang sebenarnya terjadi di balik pikiran itu. Ternyata, justru bukan
tentang kematian, melainkan tentang bagaimana cara hidup dengan lebih sadar.
Pikiran tentang kematian bukan ancaman, tapi sinyal. Menurut
Lieberman, kebiasaan berpikir terbentuk dari bawah sadar kita. Pikiran yang
berulang-ulang adalah bentuk komunikasi dari diri sendiri.
Ketika otak terus memunculkan topik kematian, itu bukan
tanda ingin menyerah, melainkan tanda bahwa ada bagian diri yang kehilangan
arah atau makna.
Kematian dalam konteks psikologi kebiasaan melambangkan
“akhir”, dan pikiran tentang itu muncul ketika kita merasa stagnan atau
kehilangan kendali hidup.
Bisa diartikan; Pikiran tentang kematian bukan pertanda
kita ingin mati, tapi pertanda kita belum benar-benar hidup.
Otak tidak bisa disuruh berhenti, tapi bisa diarahkan.
Lieberman menjelaskan bahwa otak manusia tidak bisa “diam”. Kita tidak bisa
memaksa diri untuk tidak memikirkan sesuatu. Yang bisa kita lakukan adalah
mengganti arah pikirannya. Artinya, bukan melawan pikiran tentang kematian,
tapi memberi otak “makanan” baru: fokus, makna, dan kebiasaan positif.
Dari Lieberman, ada dua kebiasaan sederhana yang bisa
mengubah cara kerja otak dan mengurangi pikiran negatif yang berulang.
Kebiasaan pertama: tetapkan tujuan dan selesaikan. Di setiap pagi, agar
memulai dengan satu pertanyaan sederhana: “Apa satu hal yang ingin aku
selesaikan hari ini?” Buatkan tujuan yang bisa diselesaikan hari ini. Tujuan
itu bisa kecil, menyelesaikan pekerjaan penting, berolahraga, atau menuliskan
blog.
Dengan kebiasaan ini, jika kita mulai menyelesaikan satu
hal, maka kita akan merasakan kemajuan kecil. Otak mendapatkan sinyal bahwa
hidupku bergerak maju. Lieberman menyebut ini sebagai “habit of direction”, kebiasaan
memberi arah pada energi pikiran. Ketika pikiran punya tujuan, ia tidak punya
waktu untuk tersesat pada kecemasan eksistensial.
Jalan ke kantor sangat lancar dan cuaca yang cerah di hari
ini,
Mengetahui bahwa keluarga; istri dan anak-anak dalam keadaan
sehat.
Bangun di pagi hari dalam keadaan sehat.
Kebiasaan sederhana ini menumbuhkan apa yang disebut
Lieberman sebagai “habit of gratitude”, kebiasaan bersyukur. Otak mulai fokus
pada hal yang berjalan baik, bukan pada hal yang hilang. Hidup lebih bermakna
bukan berarti tanpa pikiran negative.
Dengan memulai kebiasaan tersebut, maka akan ada perubahan:
Hidup yang bermakna bukanlah hidup tanpa pikiran negatif, tapi
hidup yang punya arah dan rasa syukur setiap harinya.
Adanya perbedaan saat pikiran tentang kematian masih kadang
muncul. Ia tidak lagi menakutkan, melainkan menjadi pengingat bahwa waktu hidup
ini berharga.
Pertanyaan menjadi berubah, dari “bagaimana kalau aku
mati?”, menjadi “bagaimana kalau aku benar-benar hidup hari ini?”
Ketika arah dan rasa syukur hadir bersama, hidup terasa
lebih utuh dan kematian tak lagi menakutkan.
“Hidup bukan tentang menghindari kematian, tapi tentang
menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran.”
Semoga bermanfaat
Komentar
Posting Komentar